Senin, 16 Mei 2016

Yakinkan Aku

YAKINKAN AKU !
Oleh : Margareta Widyastuti

“Apa ? Mana mungkin bisa latihannya beberapa hari. Coba deh bayangin kita tampil dihadapan banyak oranng, apa gak terlalu mepet ? nggak gue gak bisa” teriak Widya dengan kaget.
“Tapi Wid terus siapa yang mau tampil kalau bukan kita ? jawab Lia sedikit meyakinkan
Akupun merasa kaget dengan perkataan Lia. Lia meyuruhku membuat koreografi untuk pertunjukan pelantikan ormawa. Hatiku begitu gundah setelah mendengarnya. Seperti tidak ada yang mau peduli dengan keadaan mendesak dalam organisasiku. Ya, aku mengikuti sebuah organisasi kampus bidang kesenian. Dimana organisasi yang sedikit nge-trend di kalangan anak muda saat ini. Namun seiring nge-trendnya organisasi ini, mereka sedikit lupa dengan tugas mereka. Entah karena malas atau kurang bersemangat. Yang pasti itu tergantung individu masing-masing saja.
Seni Budaya Unwidha, nama yang cukup keren menurutku, itulah nama organisasinya. Seni Budaya atau lebih dikenal dengan SB sering kali dicap organisasi yang urakan, ugal-ugalan, omongannya kasar oleh organisasi lain. Namun menurutku tidak, bagiku SB adalah tempat dimana aku bisa mendapat pengalaman yang tak terduga, aku bisa menjadi lebih percaya diri, belajar menghargai waktu, dan masih banyak lagi lainnya. Walaupun terlihat urakkan, omongannya kasar tetapi bagiku itu juga tergantung individunya juga.
Sabtu pagi ketika aku mengayuh sepeda menuju kampus, aku berniat untuk mengurus administrasi kuliahku. Aku berjalan dengan sedikit malas dan perasaan bahagia. Malas karena masih terlalu kecapekan setelah pulang dari KKL di Bali. Dan perasaan bahagia karena sudah merasakan liburan hingga di Pulau Dewata. Sesampainya di lokasi pembayaran aku mengantri di depan loket. Antreannya tidak begitu ramai, namun banyak yang berseliweran mengurus juga admistrasi kuliah. Setelah selesai pembayaran aku pun berniat untuk pulang karena ada janji dengan ibuku.
Namun saat aku menghampiri sepedaku tiba-tiba ada yang memanggilku dari kejauhan. Aku menoleh. Lia rupanya dia yang memanggilku dari jauh dan tiba-tiba dia menghampiri.
“Widyaaaaaa…” teriak Lia sambil berlari mendekatiku
“Hah, siapa sih yang manggil ?” kataku sambil menoleh ke belakang
“Tunggu sebentar Wid, aku mau ngomong nih, penting.” Katanya sambil berlari mendekatiku .
Rupanya ada yang mau dibicarakan padaku, kelihatannya tidak penting menurutku. Tapi Lia sudah terlanjur mendekatiku. Ya sudah aku coba mencari tempat duduk untuk ngobrol dengan Lia. Kemudian aku duduk di dekat Fakultas Ekonomi dibawah pohon yang menjulang tinggi. Aku mencoba membuka obrolan dengan Lia.
“Yasudah kita duduk dulu disitu biar enak ngobrolnya.” Aku berjalan sambil menunjuk tempat duduk di bawah pohon.
“Jangan jauh-jauh, capek nih,” kata Lia dengan sedikit kecapekan karena berlari.
“Nih minum dulu, capek kan ?” kuserahkan minuman yang kurogoh dalam tas.
“Hehe baik banget, tau saja kalau aku haus, makasih deh.” Ucap Lia sambil meneguk minuman ke dalam tenggorokan
“Mau ngomong apa ? sudah hilang kan capeknya ?” tanya Widya sedikit jutek
Dengan sedikit bingung harus mulai dari mana ngomongnya, Lia pun mengatakan pada Widya yang sesungguhnya. Dia mengatakan bahwa sebentar lagi tawaran untuk Seni Budaya, mengisi tari dalam acara pelantikan ormawa universitas. Widya pun santai saja mendengar omongan Lia yang diaggap angin lalu. Namun setelahnya Widya kaget setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Lia. Ada sedikit rasa cemas, jengkel dan kecewa untuk hal yang seperti ini.
“Yasudah terima saja, kok kamu binggung gitu sih ?” kata Widya sambil meneguk minuman .
“Gimana gak bingung Wid, masalahnya sekarang siapa yang mau ngisi itu ? Aku sudah menghubungi anggota tari yang lain gak ada yang mau. Sebenarnya tawaran itu sudah lama, sebelum kamu pergi KKL sudah dijawab sama ketua SB, Joe, kalo kita sanggup ngisi tarian itu” Jawab Lia sambil meneterskan air mata
“Apa? Gak ada yang mau, memangnya sudah kamu tanyai belum orang-orangnya? Siapa tau aja ada yang tertarik.” Jawab Widya sedikit menggebu
“Kalau itu gak usah kamu suruh sudah kutanyai Wid, maka dari itu aku minta tolong padamu. Kamu kan juga bisa nari, kamu ikut ya bantu aku. Terus sama temenmu itu, Diah kamu ajak juga, siapa tahu dia juga mau..” kata Lia dengan nada memelas
“Hah, aku ? Yang benar saja. Tapi ? Gak bisa Lia, Mana mungkin juga nyari koregrafi yang pas dalam waktu 4 hari, coba kamu suruh yang lain saja. Gerakanku kan gak segemulai anggota devisi tari. Kamu kan bisa minta bantuan Anggun, Retri atau Septi, kan bisa.” kata Widya menolak.
“Apa bantuan Anggun dan Retri ? Maaf Wid, aku sudah terlanjur kecewa sama mereka. Berulang kali aku coba memohon bantuan mereka untuk mengisi pelantikan besok, mereka selalu menolak. Sampai setiap hari ku sms mereka, ku suruh mereka datang ke serambi untuk membahas mengenai hal ini. Tapi apa ? Mereka datang? Tidak Wid. Bahkan sms ku dianggap sampah baginya. Mereka hanya membalas maaf gak bisa. Setelah kutanyai apa alasannya mereka tidak bisa, mereka hanya berkata TIDAK BISA. Terus aku juga gak mungkin kalau mengajak Septi, kakinya cidera habis kecelakaan. Kamu ingat hari Selasa lalu aku sms kamu untuk datang ke serambi, itu cuma ngumpulin orangnya saja yang datang cuma Kartika Wid, padahal aku tahu kalau waktu itu kamu sedang KKL. Maka dari itu Wid aku bingung, hanya kamu yang bisa kuharapkan sekarang.” Penjelasan panjang lebar Lia
“Tapi, kenapa kamu baru ngomongnya sekarang Lia, kamu tau kan bikin koreografi Tari Dewi Padi itu susah. Butuh waktu yang lama untuk memantapkan gerakan, iringannya, bahkan pola lantainya. Apalagi aku sama sekali belum pernah memainkannya?” Tambah Widya sedikit ragu.
“Tenang saja, kita bisa kok. Kalau kita semangat, berusaha terus dan semua itu diserahkan pada Tuhan, aku yakin kita pasti bisa. Kamu ingat kan nasehat Kak Ari untuk selalu berkarya walaupun waktunya singkat. Apalagi kita sudah terima rundown kegiatannya dan gak mungkin juga kita menolak, gak enak sama BEM Wid. Jadi, aku mohon sama kamu, ini demi organisasi kita.” Ungkapan Lia meyakinkan.
“Baiklah, kalau itu maumu, terus kapan kita mulai latihannya ?” tanyaku pada Lia
“Yang benar Wid, serius. Oke. besok aku kabari lagi deh. Kamu jangan lupa ajak Diah ya..” jawab Lia bahagia setelah mendengar jawaban Widya.
Aku pun terharu setelah mendengar penjelasan panjang lebar Lia. Sungguh tega juga mereka membuat keputusan yang tak masuk akal seperti itu. Semangat Lia mengajaku untuk tampil sungguh hebat. Dia meyakinkan bahwa semua yang kita lakukan bakalan gak sia-sia. Kadang aku berpikir apasih yang membuat mereka lupa akan janjinya dulu waktu diksar tahun lalu. Mereka dulu berjanji akan bertanggung jawab dalam kegiatan yang dilaksanakan organisasi SB, tetapi nyatanya sekarang? Mereka malah mengingkarinya sendiri, bahkan perlahan menjauh dari SB. Itulah hukum alam, setelah mengikuti diksar ramai dulu setelah itu perlahan meninggalkan SB satu persatu. Namun bagiku setelah masuk organisasi aku harus menyelesaikannya. Ibaratnya  sudah memutuskan untuk menceburkan diri ke sungai maka pilihannya adalah terus berenang untuk sampai ke tepian dan meraih semuanya. Menyerah bukan pilihan untuk hidup. Karena menyerah cuma akan membuat tenggelam di tengah sungai dan mati tanpa diketahui orang.
Keesokan harinya aku coba ke kampus untuk memulai latihan menciptakan gerakan yang pas. Tari yang dipersembahkan cukup sulit. Aku belum pernah membawakannya, apalagi tari jawa. Tubuhku rasanya kaku ketika melakukan gerakan yang belum pernah kucoba. Namun hatiku meyakinkan bahwa aku bisa melakukannya. Memang berat, apalagi waktu latihan hanya terpatok 3 hari. Tapi mau bagaimana lagi kalau gak dicoba. Sambil menunggu kedatangan Lia dan Kartika yang terjebak hujan di jalan waktu berangkat, aku mencoba meminjam ruangan untuk tempat latihan. Sambil membawa sound system ukuran kecil yang dibawa Nugroho bersama Diah menuju auditorium universitas, aku mencoba menemui satpam untuk meminta izin menggunakan ruangan untuk berlatih gerakan. Cukup sulit untuk meminta bantuan pak satpam karena waktu itu beliau sedang berkeliling kampus berpatroli. Hah, sungguh melelahkan. Setelah itu aku meminta kunci ruangan untuk dibukakan. Beberapa menit kemudian akhirnya Lia dan Kartika datang dan langsung menyesuaikan untuk latihan.
“Wid, kayaknya badan gue kaku deh kalau nari seperti ini. Sulit banget.” Kata Diah sambil melihat video tutorial tari.
“Dicoba saja dulu, kan belum nyoba. Mana bisa kamu bilang kaku kalau belum mencoba. Hehe..” canda Kartika meyakinkan
“Iya, kamu pasti bisa kok. Yakin saja.” Tambah Lia meyakinkan.
“Aku kan belum pernah nari seperti ini?” celoteh Diah
“Siapa bilang belum pernah nari? Dulu kan kamu pernah mengisi tari budaya Dayak, buktinya kamu bisa. Sudahlah gakpapa.” Aku menanggapi.
Selama beberapa hari pulangku larut sore bahkan hampir malam karena harus latihan sampai gerakannya sesuai. Mulai dari hari pertama latihan, masih belum bisa menemukan yang pas dan sesuai dengan tema. Dengan sedikit kebingungan, Lia pun meyakinkan teman-temannya untuk tetap berlatih. Selain menampilkan tari SB juga menampilkan kreasi gamelan modern secara group. Latihannya hampir bersamaan setiap harinya. Dengan semangat yang diberikan oleh ketua SB, aku semakin yakin untuk tampil.
Perkembangannya perlahan mulai membaik, semua bisa menempatkan posisinya. Aku mencoba memantapkan gerakanku supaya pas dengan musik tanpa harus menyaksikan video tutorialnya. Hingga waktu gladi bersih, akhirnya  gerakan yang ku bawakan bersama Lia, Kartika, dan Diah sudah terlihat menonjol. Namun ada sedikit yang menggajal pada gerakan salah seorang temanku. Keluwesan gerakannya masih terlihat kaku, dan kurang percaya diri, ungkapan dari kakak tingkat SB.
“Coba deh kita ulangi sekali lagi, masa masih gak pas. Tadi sudah pas lho. Kamu tuh Yah coba dipasin dong!” Kata Lia dengan nada kasar menunjuk Diah.
“Iya Lia, maaf kalo kalau aku salah. Aku kurang pede.” Jawab Diah bersalah.
“Hey! Ada apa ini ? kok malah berantem malah gak latihan.” Kata kak Ahmad, senior SB.
“Enggak kak, nggak papa, mungkin sedikit kecapakan saja, hehe. Ya sudah kita latihan lagi..” Kataku pada kak Ahmad.
“Bagaimana kak penampilan gladi bersih kita tadi, minta masukannya donk.” Kata Lia berbicara dengan Kak Ahmad.
“Sudah baik, namun ada yang kurang. Oiya kamu Diah gerakanmu kurang luwes, senyummu ditampakan ya, jangan malu-malu. Kamu sebenarnya kurang plong waktu nari tadi. Sebenarnya kamu ada masalah apa, dari tadi kok kurang bersemangat gitu. Cara menarimu kelihatan kok kamu seperti punya masalah.” Kata Kak Ahmad menanyai.
“Iya los aja, hilangkan dulu beban di pikiranmu. Dan kau harus yakin, kamunharus bisa mengalahkan rasa kurang pedemu itu. Oke. Semangat ya..” Joe, ketua SB menambahi.
Setelah mendengarkan penilaian dari senior SB dan ketua SB, akhirnya kitapun sepakat untuk mengulang tarinya beberapa kali. Hari pun sudah larut malam, pasti ada capek juga. Kuamati beberapa kali pada Diah dan pikirannya seperti dihantam beribu masalah. Padahal sudah diberi semangat dari Joe dan Kak Ahmad sepertinya tidak mempan. Gerak-geriknya seperti ingin meninggalkan tempat gladi bersih dan ingin mengatakan sesuatu namun hatinya tidak sampai.
Saat gladi bersih, ini juga bersamaan dengan penataan set panggung dan ruangan yang dilakukan oleh pihak BEM dan juga Seni Budaya. Saat kita melakukan latihan tadi sepertinya kulihat dari sebagian anggota BEM yang mengomentari gerakan yang kita bawakan. Ada yang menilai itu sudah pas, ada juga yang menilai kurang maksimal. Namun tetap ku berikan semangat pada kawanku untuk tetap beroptimis dan yakin bahwa setidaknya kami sudah berusaha menampilkan yang terbaik. Waktupun menunjukkan sudah malam, Kartika tergesa-gesa berpamitan karena dia ada janji untuk menjemput adiknya dari asrama. Saat itu wajah Diah seperti sudah tak bersemangat lagi. Acaranya dimulai pukul 09.00, dan penampilan tarinya pukul 11.00. Lia mengajakku ke salon untuk memesan kostum dan juga make up. Sebelum itu, Diah berkata padaku bahwa hatinya digundahi rasa ketakutan karena besok harus membolos kuliah demi tampil di acara tersebut dan kurang percaya diri. Aku pun berusaha meyakinkan bahwa kuliah besok masih belum optimal dan menyemangatinya. Akhirnya setelah kukatakan pada Diah, aku menyuruhnya untuk pulang dan beristirahat supaya besok dapat tampil dengan total.
Hujan pun turun bersamaan dengan keringat dan juga air mata. Perjuanganku selama ini sedikit kutakutkan. Ketakutan kalau penampilan besok kurang menakjubkan seperti yang ku harapkan dan diharapkan oleh anggota lain SB. Dalam rintik hujan, aku dan Lia mendatangi salon untuk mencoba kostum yang pas sesuai konsep yaitu Tari persembahan Dewi Padi. Sambil menunggu pemilik salon mencari kostum yang pas, kulihat-lihat ruangan salon. Ruangannya besar dan isinya perlatan kostum yang berbudaya, mulai dari yang zaman dahulu hingga saat ini yang modern. Akhirnya pemilik salon menunjukan kostum yang pas untuk kita kenakan besok. Dan aku dan Lia juga menyetujui. Kostumnya cukup simpel dan nggak terlalu ribet namun juga terlihat elegant. Kita sepakat dan membayar biaya make up dan penyewaan kostum dan mulai make up pukul 06.00. Lia mencoba bernegosiasi dengan pemilik salon untuk mendapatkan biaya yang pas dengan kantong mahasiswa. Cara bicara Lia sangat lucu sehingga membuat pemilik salon terpingkal-pingkal mendengar perkataan yang diucapkan Lia dan itu pun subuah keberuntungan bisa membuat pemilik salon setuju dengan pemotongan harga sewa karena terhibur dengan candaan Lia dengan logat Dayaknya.
Akhirnya biaya salon sesuai dengan yang Lia harapkan dengan sedikit murah namun juga berkualitas. Setelah itu, sambil menunggu nota yang sedang dibuatkan oleh pemilik salin kuamati Lia sedang kaget setelah membaca sms hapenya. Kutanyai padanya, dari siapa sms itu dan apa maksudnya. Lia menyodorkan hapenya pada ku dan kubaca dengan seksama. Setelah kubaca aku pun juga terkaget dengan kabar tersebut. Diah ingin mengundurkan diri dari tarian itu. Bagaimana mungkin juga kita menampilkan tarian dengan 3 orang dan itu pun juga harus mengubah konsep yang sudah ditentukan. Aku pun jengkel dan juga ingin marah namun sepertinya sia-sia. Kucoba untuk menahan amarahku dan membalas sms tersebut dengan menyakinkan lagi Diah supaya ikut dalam tarian tersebut. Aku dan Lia setelah itu memutuskan untuk kembali ke kampus dan bercerita pada Joe, ketua SB.
Kukendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi bersama Lia menuju kampus dan meminta solusi pada Joe, ketua SB. Setelah sampai di kampus, kucertitakan semua yang terjadi. Joe mengatakan untuk tetap membujuk Diah supaya ikut dalam tarian besok. Dan Joe pun juga menyuruhku dan Lia menjemput Diah besok sebelum menuju ke salon. Aku pun mengikuti saran dari Joe dan mencoba untuk kerumahnya esok. Setelah itu aku pun pulang dan sepanjang perjalanan yang dibasahi tangisan langit, aku pun sambil berdoa melantunkan permohonan pada Tuhan semoga Diah dibukakan pintu hatinya dan tetap ikut menari.
Keesokan harinya aku dan Lia pergi ke rumah Diah untuk menghampiri supaya mau mengikuti tarian Dewi Padi. Kususri jalan persawahan yang menguning dengan tarian padi yang menancap di tanah. Lima belas menit kemudian akhirnya sampai di depan rumahnya. Perjalanannya cukup singkat karena jalanan masih belum ramai. Kuketok pintu rumahnya dan yang keluar sepertinya wanita paruh baya dengan tongkat penyangga.
“Permisi, assalammualaikum Diah ?” kataku sambil mengetok pintu.
“Walaikumsalam, iya sebentar.” Jawab suara dari dari dalam rumah.
“Walaikumsalam. Ada apa ya, tumben pagi-pagi kok sudah ke sini. Ini temanya Diah bukan ? Mari duduk sini dulu.” kata nenek membuka pintu dan mempersilahkan duduk.
“Iya nek, Diahnya ada dirumah nek.” Kata Lia bingung.
“Diah sudah berangkat itu, baru saja dia berangkat. Katanya mau ke salon gitu, ada acara di kampusnya, mau menari jadinya berangkat pagi, setelah saya tanyai.” Kata nenek menjelaskan.
“O begitu nek, jadi Diahnya langsung ke salon ini nek ?” Salon mana nek kalau boleh tahu ?” tanya kataku.
“Kalau tidak salah, salon dekat rumah makan, kalu gak salah daerah Bareng Lor. Pokoknya pinggir jalan raya arah ke Klaten kota.
“Wah kayaknya itu salon yang kita datangi kemarin Wid.” Yaudah kita langsung cabut ke sana saja. Kartika juga sudah kesana kok.” Kata Lia berbicara kearahku.
“Kalau begitu kita pamit dulu ya nek.” Kataku sambil berpamitan mennjabat tangan neneknya Diah.
Perasaanku masih bingung. Ku putuskan untuk langsung ke salon dan memastikan bahwa Diah sudah sampai sana. Kurang lebih sepuluh menit, aku melaju bersama Lia dengan  kecepatan tinggi supaya sampai salon. Akhirnya setelah sampai salon, ku tak melihat sosok Diah, motornya pun juga tidak ada. Kemana dia? Apa perkataan neneknya tadi berbohong. Dalam hatiku berkata tidak mungkin, masa orang sudah tua harusnya memperbaiki dosanya kok malah berbohong. Disana pun aku baru menjumpai Kartika yang baru saja sampai. Kulihat Lia kurang bersemangat dengan keadaan ini, dan sepertinya emosinya kian meningkatk. Aku pun pasrah dan tak tahu harus bagaimana lagi. Aku seperti diambang keputusan yang melayang jauh. Nantinya harus mengubah konsep koreografi lagi karena orangnya berkurang satu. Ku serakan semua pada Tuhan supaya nantinya penampilannya baik walaupun acak-acakan. dan nantinya aku dan kawan-kawan siap menerima komentar-komentar yang menjatuhkan atau membangkitkan.
Selanjutnya aku bersama Lia dan Kartika memulai untuk mempoles wajah dan berganti kostum. Kulihat wajahku dan wajah teman-temanku didandani bak seperti bidadari kampus dari cermin. Sambil memperhatikan sekeliling salon, aku mendengar seperti ada orang yang berganti kostum dari balik sudut tembok. Dalam kepalaku bertanya-tanya. Aku pun kembali memandang cermin kulihat seperti Diah. Dan aku pun menoleh untuk memastikan bahwa itu benar. Lia pun berteriak girang setelah melihat Diah. Akhirnya aku pun turun dan mendekatinya. Kulihat Diah sudah dimake up dan berkostum penari. Aku dan kedua temanku langsung mendekati Diah. Perasaanku senang dan menjadi bersemangat akhirnya Diah mau tampil.
“Apa yang membuat kamu berubah ment?” kataku terharu
“Aku sadar waktu subuh tadi. Pengorbanan kalian meyakinkanku membuatku untuk terus bergerak maju. Dan gak mungkin juga aku menghianati organisasi yang telah ku ikuti. Aku ingin menunjukkan kesetiaanku pada SB. Aku juga ingin berkarya walaupun masih dalam taraf belajar. Masa sudah berlatih beberapa hari kalau gak dipertontonkan gak sempurna juga. Dan aku juga minta maaf sms kalian kemarin tidak ku balas. Kemarin itu aku benar-benar gak semangat setelah mendengar komentar orang. Makanya sekarang semangatku bangkit lagi, dan aku sudah siap untuk tampil.” Katanya dengan tersenyum
“Hebat! Ternyata kamu juga masih setia pada SB. Tadinya aku sudah pasrah dengan penampilannya nanti jadinya apa kalau tidak ada kamu.” Tambah Lia sambil memeluk Diah.
“Eh eh.. sudah, sudah. Nanti aja nangis-nangisnya. Entar luntur lho make upnya. Tanggung nih, satu jam lagi kita go kampus. Nanti kita latihan sekali lagi untuk memantapkan. Hehe…” kata Kartika melanjutkan berganti kostum.
Akhirnya keempat penari sudah siap untuk tampil di kampus. Terlihat berbeda dari biasanya. Ternyata make up membuat mereka terihat cantik seperti bidadari sampai-sampai kawanku yang dilantik tidak ada yang mengenaliku. Aku, Lia, Kartika dan Diah menampilkan tari yang begitu sakral. Ku keluarkan senyumanku supaya gerakanku mampu dimengerti oleh penonton. Tubuhku bergerak gemulai dengan iringan gamelan yang melambangkan kesuburan. Dengan tangan yang menggenggam tangkai padi yang menguning dan juga lilin yang menerangi kegelapan. Serta butiran bunga yang mewangi membangkitkan tepuk tangan manusia yang menyaksikannya terpana. Akhirnya aku dan ketiga kawanku berhasil membuat penonton menepukkan tangannya. Dengan usaha, keyakinan, dan doa mampu menghasilkan penampilan yang baik.

***SELESAI***
                                                                                            Unwidha, 24 Februari 2016

                                                                                                            Penulis